Mencintai
sesuatu berarti mengutamakan sesuatu, bila keutamaan itu sampai membuat
seseorang lupa pada Allah, maka sesuatu itu menjelma menjadi tuhan bagi
dirinya. Berbeda dengan orang yang mencintai Allah. Orang yang mencintai Allah
pasti mencintai sesuatu, tapi orang yang mencintai sesuatu belum tentu
mencintai Allah.
Cinta yang
tumbuh dan berkembang dalam diri manusia merupakan fitrah yang tidak dapat
ditolak kehadirannya. Karena cinta adalah anugerah yang ditanamkan Allah ke
dalam hati manusia. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik." (Ali 'Imran: 14)
Dan ketika
seorang laki-laki mencitai wanita atau sebaliknya, maka rasa cinta itu harus
dipandang sebagai anugerah Allah. Begitu pula cinta terhadap anak-anak, harta
benda, kedudukan dan martabat, semuanya harus dikembalikan kepada Allah.
Artinya ekspresi cintanya semata-mata karena memelihara amanat dan anugerah
Allah. Cinta adalah sesuatu yang lembut dan meliputi relung hati. Cinta tidak
bisa didefinisikan dengan kata-kata, namun refleksi dari cinta terlihat pada
sifat orang yang bercinta, melalui ekspresi kepatuhan dan pengabdian.
Apabila cinta
telah berkembang menjadi kepatuhan dan pengabdian kepada sesuatu, hingga
melampaui kepatuhan dan pengabdiannya kepada Allah, maka sudah pasti sesuatu
yang dicintainya itu menjelma menjadi tuhan-tuhan selain Allah.
Dalam realita
kehidupan, banyak orang yang mencintai tuhan-tuhan selain Allah dengan
menjadikan yang dicintainya sebagai sesembahan di dalam hatinya. Sebagai
contoh, orang yang lebih mengutamakan kecintaannya pada istri, suami,
anak-anak, ketimbang Allah. Tuhan adalah predikat dari sesuatu, baik dalam
wujud lahiriah maupun dalam wujud imajinasi. Dalam kalimat tauhid menyebutkan:
"Tidak ada tuhan kecuali Allah." Berarti tidak ada tuhan-tuhan dalam
bentuk apapun yang dipandang secara lahiriah, juga tidak ada sesuatu dalam
imajinasi yang dapat menumbuhkan rasa cinta hingga melampaui cintanya pada
Allah. Lebih spesifik lagi dalam memaknakan kalimat tauhid ialah: Tidak ada
cinta pada tahta, harta dan wanita (baca: lawan jenis), kecuali hanya pada
Allah semata.
Cinta tumbuh
dan berkembang di dalam hati. Mencintai sesuatu berarti menyediakan ruang dalam
hati untuk bersemayam sesuatu yang dicinta. Hal ini, sama saja menempatkan
berhala-berhala di sekeliling rumah Allah, sebab bagi orang-orang yang beriman,
hati itu rumah Allah yang harus dijaga kebersihan dan kesuciannya.
Jika ada orang
yang mencintai sesembahan selain Allah dalam bentuk arca dan berhala, maka
tidak sedikit pula orang yang menjadikan sesuatu itu berhala-berhala di dalam
hatinya dan sekaligus menjadi tuhan-tuhan selain Allah. Seperti orang yang
mengutamakan cintanya pada tahta, harta, wanita (baca: lawan jenis), anak dan
keluarga, sampai-sampai hatinya dipenuhi dengan berbagai hal tersebut. "Katakanlah:
"jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya,
dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya
dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
Keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik." (At Taubah: 24). Mencintai sesuatu boleh saja, tetapi harus
dimaknai sebagai refleksi cintanya kepada Allah, dan bukan malah menjadikan
cintanya itu sebagai ajang untuk menguasai dan memiliki sesuatu sehingga
membuat Allah tersisih.
Jika ada rasa
cinta pada sesuatu dan membuat lupa pada Allah, maka sesuatu itu menjadi
tuhan-tuhan selain diri-Nya. Sama saja orang tersebut sedang bercinta dengan
tuhannya. Tuhan yang dimaksud, ialah tuhan-tuhan penjelmaan sesuatu yang
dicintainya sesuai dengan nafsunya. "Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?" (Al Jaatsiyah: 23). Tauhid akan mengantarkan seseorang
pada maqam hakikat Istiqlal (merdeka). Sebab dengan memahami tauhid, seseorang
dapat melepaskan diri dari belenggu nafsu dunia dan ananiah (ke-aku-an) yang
memenjarakannya.
Tauhid juga
menumbuhkan cinta kepada Allah. Memahami tauhid sama dengan memosisikan diri
menjadi pencinta Allah. Tidak bertauhid, berarti ada kesenjangan cinta dengan
Allah. Sebagaimana kesenjangan cinta antara suami istri yang dipicu karena
tidak sepaham dalam memandang dan meminati sesuatu. Untuk mencapai cinta yang
sejati dan murni, harus ada kesamaan dalam banyak hal, disertai kesediaan untuk
melebur dengan keinginan dan kemauan demi yang dicinta. Karena melebur pada
kehendak yang dicinta merupakan bentuk pengorbanan yang hakiki. Pernyataan
cinta seorang hamba pada Tuhan harus diikuti oleh kepatuhan mengikuti
kehendak-Nya. Seraya berkata dan meyakini dalam hati: "Tidak ada daya dan
upaya, kecuali dengan daya dan upaya Allah Yang Maha Agung lagi Maha
Tinggi." Yang berarti daya dan upaya seorang hamba selaras dengan kehendak
Allah.
Jika seorang
hamba menyatakan cinta kepada Allah, tetapi tidak mau berjalan di bawah
kehendak-Nya, maka cintanya sebatas lipstik kata-kata yang menggumpal jadi
kalimat untuk bermunajat. Seperti orang yang berteriak lantang menyuarakan
cinta, dan tidak mau merendahkan suaranya demi yang dicinta. Teriakan itu
adalah refleksi ke tidak tahuan makna dan hakikat cinta. Cinta tidak perlu
diteriakkan, karena cinta tidak butuh kata-kata dalam bentuk sajak. Cinta adalah
cinta yang hanya dapat dirasa dalam sujud kepasrahan. "Kamu lihat
mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (Al Fath: 29)
Cinta kepada
Allah yang ditanam dengan benih tauhid dan selalu disirami dengan air ibadah
akan tumbuh subur dan berbuah cinta abadi dalam bentuk kepatuhan dan
pengabdian. Kepatuhan mengikuti Rasul-Nya dan mengabdi sebagai hamba-Nya seraya
berharap pada cinta kasih-Nya. "Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Ali
'Imran: 31). Seseorang yang mengikuti Rasul-Nya karena cintanya pada Allah,
berarti telah mampu melepaskan diri dari perbudakan nafsu, terbebas dari hukum
basyariah (fisik) dan terlepas dari sesuatu selain Allah yang mencengkeramnya.
Terbebas dari
hukum basyariah itu bukan berarti tarikus syari'at (meninggalkan syariat Nabi
Muhammad Saw.). Tetapi menyediakan seluruh hidup dan matinya hanya untuk Allah
Tuhan Semesta Alam. Inilah hakikat tauhid dan cinta seorang hamba pada
Tuhannya. "Sesungguhnya shalat dan ibadahku, hidup dan matiku, kuserahkan
seluruhnya hanya kepada Allah Tuhan semesta alam." (arti sebagian doa iftitah).
Kepatuhan dan pengabdian merupakan bentuk ekspresi cinta seorang hamba kepada
tuhannya, baik tuhan dalam arti sesuatu yang merupakan jelmaan dari rasa cinta,
atau Tuhan dalam arti yang sesungguhnya. Seorang hamba yang mencintai Tuhan, di
hatinya tak ada ruang kosong untuk ditempati oleh sesuatu selain diri-Nya.
Hanya Allah
yang meliputi dan memenuhi hatinya sepanjang masa. Bagai gayung bersambut,
Allah pun mencintai hamba-Nya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan hamba dalam
menerima cinta-Nya. Sebagai bukti awal cinta-Nya, Dia membersihkan hati hamba
dengan ampunan yang berlimpah. Rahmat dan salam datang silih berganti menghiasi
hati hamba-hamba-Nya.
Cinta kasih
Allah adalah Nur yang menerangi hati hamba-hamba-Nya. Ketika Nur Ilahi telah
masuk ke lubuk hati seorang hamba, maka hamba tersebut akan merasakan lapang
dada dan luas hatinya untuk memaafkan kesalahan siapa pun, sebelum ada yang
datang meminta maaf. "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya." (Ali 'Imran: 159).
Di samping itu,
tercermin pula pada sikap hidup yang selalu mengutamakan wilayah spiritual
ketimbang wilayah material. Artinya, jika dihadapkan pada dua pilihan antara
kepentingan akhirat dengan dunia, maka akan memilih untuk kepentingan
akhiratnya. Dalam hal memilih pasangan hidup misalnya, wanita atau pria yang
beriman itu lebih baik untuk akhiratnya daripada wanita atau pria yang musyrik,
kendatipun lebih menarik dipandang nafsu syahwatnya. (QS.Al Baqarah: 221).
Pengabdian seorang hamba terhadap Allah ialah penyerahan diri sepenuhnya di
bawah kehendak-Nya (tawakal), dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan
cinta-Nya yang penuh rahmah dan ampunan. "Mereka itulah yang mendapat
salawat (salam cinta) yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka
itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (Al Baqarah: 157).