"Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalan hukum
Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman"
(QS.An-Nuur:2)
Tidak di kampus, tidak di kantor, tidak di
pertokoan, tidak di bus, tidak di kereta api, lebih-lebih di tempat-tempat
hiburan dengan mudah kita akan temukan dua sejoli yang belum terikat tali
pernikahan asyik berduaan, bergandengan tangan bahkan berpelukan mesra. Kadang
kita menjadi kikuk karenanya. Mau ditegur jadi ribut. Tidak ditegur merusak
pandangan. Akibatnya perjalanan kita menjadi tidak nyaman.
Itulah pacaran. Salah satu budaya sekaligus gaya
hidup kaum muda Indonesia. Dengan alasan penjajakan pra nikah, berbagai carapun
dilakukannya. Yang penting katanya “Tidak MBA (Married By Accident)”. Meskipun
realitas membuktikan tidak sedikit para remaja yang hamil sebelum nikah. Dan
telah melakukan hubungan badan sesama lawan jenisnya.
Sehubungan dengan itu, mari kita kaji masalah ini
dalam tinjauan hukum positif Indonesia. Pada saat yang sama kita juga perlu membandingkannya
dengan hukum Islam, sebagai referensi dan pedoman tertingggi bagi kehidupan
kaum muslimin. Sehingga dengan ini, kita sebagai kaum muslimin dapat menentukan
sikap berkaitan dengan masalah pacaran ini. Baik terhadap diri kita, saudara
kita, anak kita, tetangga kita atau teman dan kolega kita.
Dalam Hukum Positif
Dalam KUHP Indonesia, kita tidak temukan istilah
pacaran. Namun bukan berarti masalah ini tidak diatur dalam KUHP. Karena dalam
Bab XIV diatur masalah kejahatan terhadap kesopanan. Khususnya pasal 281 yang
menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Yang
dimaksud dengan merusak kesopanan ini, R. Susilo dalam bukunya “Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya” antara lain yaitu
mencium lawan jenis dsb. Dan sebagainya disini bisa berarti pula berpelukan
tergantung kebijakan hakim dalam memtuskan masalah ini. Tergantung pula dengan
adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku pada sebuah masyarakat.
Yang perlu digarisbawahi tindakan ini harus
dilakukan di depan umum. Diantaranya yaitu di terminal, stasiun, tempat
perbelanjaan, gedung bioskop, kampus dan perkantoran. Dan harus dilakukan
dengan sengaja. Yang dibuktikan dengan tindakan saling berpelukan atau
berciuman di depan umum. Sedangkan bagi mereka yang melakukan diluar tempat
umum tidak dapat dikenakan delik ini. Karena unsur di tempat umum tidak
terpenuhi.
Dari ketentuan itu sebenarnya cukup jelas bahwa
pacaran yang dibarengi dengan pelukan atau berciuman di depan umum dapat
dianggap sebagai kejahatan yang diancam dengan penjara 2 tahun 8 bulan.
Masalahnya adalah karena terjadinya pergeseran
budaya, sehingga tindakan semacam itu sepertinya telah menjadi kebiasaan dan
dianggap wajar oleh sebagian besar orang tua, pendidik dan aparat penegak hukum
lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesopanan bangsa Indonesia telah
menurun. Demikian halnya rasa malu yang dimiliki bangsa ini. Padahal Rasulullah
menyatakan Al Hayaau minal iiman (malu adalah sebagian dari iman). Lalu dimana
letak keimanan kita jika membiarkan anak-anak kita melakukan hal itu ???
Menurut Hukum Islam
Sebelum kita berbicara masalah pacaran dalam
tinjauan hukum Islam kita perlu lebih dahulu memahami masalah hudud, qishash
dan ta’zir. Yang dimaksud dengan hudud adalah ketentuan–ketentuan pidana yang
telah diatur secara tegas dan jelas termasuk jenis hukumannya dalam Alqur’an
atau sunnah Nabi dan yang merupakan hak prerogratif Allah Swt. Semisal mencuri,
menyamun, berzina, dan memfitnah.
Sedangkan qishash adalah pembalasan setimpal
sehubungan dengan pembunuhan atau penganiayaan dimana hak menentukan hukumannya
diserahkan kepada korban atau ahli waris korban. Apakah ingin membalas yang
setimpal, membayar denda atau memaafkan pelakunya.
Adapun ta’zir adalah ketentuan yang diatur oleh
penguasa atau hakim selain dari kedua hal diatas (hudud dan qishash). Fungsinya
yaitu untuk mengisi kekosongan hukum. Semisal masalah percobaan pembunuhan atau
percobaan pencurian atau percobaan perzinahan yang tidak diatur dalam syariat
Islam. Disini penguasa atau hakim diberikan wewenang untuk menentukan besarnya
hukuman yang harus diterima oleh pelaku tindak pidana.
Kembali ke masalah pacaran, penulis juga cukup
terkejut ketika membaca buku “Al Ahkam Al Sulthaniyyah” halaman 459 karya Imam
Al Mawardi. Ternyata dalam hukum Islam pacaran dimasukkan sebagai salah satu
bentuk percobaan tindak pidana perzinahan. Dimana hukumannya ditentukan oleh
ta’zir penguasa atau hakim.
Menurut beliau pacaran yang dibarengi dengan ngobrol
berduaan dalam satu kamar/rumah maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak tiga
puluh kali (30). Jika berduaan dan berpelukan tanpa pakaian namun belum sampai
bersetubuh dikenakan hukuman cambuk sebanyak enam puluh (60) kali. Jika ngobrol
dijalanan maka dikenakan dua puluh (20) cambukan. Jika saling mengikuti dengan
saling memberikan isyarat maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak sepuluh (10)
kali.
Hal itu selaras dengan ayat 32 surat Al Israa’ yang
artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah satu
perbuatan yang keji dan jalan yang buruk”.
Disini cukup jelas bahwa yang dilarang bukan hanya
zina, bahkan segala sesuatu yang dapat menghantarkan seseorang jatuh kepada
perbuatan zina. Satu diantaranya adalah pacaran. Karena pacaran akan
menghantarkan pada zina hati, penglihatan, pendengaran dan tangan.
Karena itu dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita
untuk menundukkan pandangan (ghadhul bashar). Firman Allah artinya :
“Katakanlah kepada laki-laki beriman “ hendaklah
mereka menundukkan / menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(An Nuur
: 30).
Jalan Keluar
Masalah yang timbul sekarang adalah bagaimana dengan
anak-anak, teman atau saudara kita yang saat ini pacaran. Haruskah kita cambuk sesuai
hukum Islam? Tentu saja tidak semudah itu, karena hukum pidana Islam belum
diformalkan di negeri kita. Jalan keluar yang paling mungkin yaitu dengan cara
mensegerakan mereka menikah. Kalau mereka masih sekolah atau kuliyah bisa
dengan cara nikah gantung sebagaimana terjadi dalam hukum adat masyarakat jawa.
Yaitu menikahkan secara resmi tapi belum boleh berkumpul dalam satu rumah dan
melakukan hubungan suami istri.
Hal itu juga pernah dicontohkan Rasulullah ketika
menikahi ‘Aisyah, karena saat itu Aisyah belum menginjak baligh. Dan Rasulullah
baru berkumpul dalam satu rumah setelah ‘Aisyah dewasa atau baligh. Model nikah
semacam inilah yang seharusnya kita populerkan. Sehingga pacarannya menjadi
resmi, karena dilakukan setelah ijab kabul. Sehingga ketika sang suami yang
nikah gantung apel pada malam minggu akan merasa tenang dan nyaman. Tidak takut
ditangkap hansip apalagi dicambuk hingga puluhan kali.
Lalu bagaimana dengan yang belum pacaran dan belum
menikah. Jalan keluarnya yaitu dengan cara mencari istri lewat orang tua,
ustadz atau teman. Apabila sudah cocok setelah melakukan penyelidikan terhadap
sang calon segera saja dilamar dan dinikahi. Hal ini pernah dicontohkan oleh
orang tua kita. Meskipun mereka tidak berpacaran toh anaknya banyak dan perkawinannya
kekal hingga akhir hayat. Ini sangat berbeda dengan para artis dan anak muda
sekarang, meskipun berpacaran cukup lama, tapi toh tingkat perceraiannya cukup
tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar