A.
Latar Belakang
Pelajaran
Matematika diberikan di semua sekolah baik di jenjang pendidikan dasar maupun
pendidikan menengah. Pelajaran matematika yang diberikan di semua jenjang
pendidikan diharapkan akan mempunyai kontribusi yang berarti bagi bangsa masa
depan, khususnya dalam “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.[1]
Namun, jika kita
perhatikan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai
dengan arus globalisasi yang makin cepat, maka guru sebagai satu-satunya sumber
informasi tidak mungkin lagi menjadi sumber informasi tunggal bagi peserta
didik.[2] Menurut penelitian Jakson bahwa peranan guru itulah yang memegang peranan yang
terpenting, dalam arti bahwa perhatian guru pribadi terhadap siswa-siswanya
lebih memajukan perkembangan anak, dimana seorang guru lebih sering menghadapi
anak-anak dari kelas itu.[3]
Guru sebagai pendidik harus
menyadari bahwa kemajuan pendidikan lebih tergantung kepada dedikasi guru serta
kreatifitasnya setelah mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi diberbagai
tempat[4]. Kreatifitas yang dimiliki
guru terletak pada metode dan strategi yang diterapkan dalam pengajaran
khususnya pengajaran matematika. Pengajaran matematika hendaknya lebih
bervariasi baik metode maupun strateginya guna mengoptimalkan potensi siswa. Salah satu karakteristik matematika adalah
mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak
siswa mengalami kesulitan dalam matematika.[5] Pengajaran matematika disekolah
pada umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-rumus dan konsep-konsep secara
verbal tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa.
Dalam pengenalan
rumus–rumus dan konsep-konsep matematika di kelas menunjukkan bahwa sering
terjadi kesalahan dalam pengajarannya. Hal ini disebabkan karena guru tidak
memahami dengan baik matematika yang akan digunakan sebagai wahana pendidkkan[6].
Disamping itu, guru
dalam mengajar masih kurang memperhatikan kemampuan berfikir siswa atau dengan
kata lain tidak melakukan pengajaran bermakna, metode yang digunakan kurang
bervariasi, dan juga guru lebih mendominasi kelas atau mendominasi kegiatan
belajar mengajar, sedangkan siswa lebih sering berperan sebagai pendengar dan
pencatat yang baik.[7]
Mengajar akan
efektif bila kemampuan berfikir siswa diperhatikan dan karena itu perhatian
ditujukan kepada kesiapan struktur kognitif siswa. Adapun struktur kognitif
mengacu pada organisasi pengetahuan dan pengalaman yang telah dikuasai seorang
siswa yang memungkinkan siswa itu dapat menangkap ide/konsep-konsep baru.
Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan intelektual siswa berlangsung bertahap
secara kualitatif. Walaupun perkembangan itu nampaknya berjalan dengan
sendirinya, nampaknya perlu diarahkan sebab perkembangan tersebut dapat dibantu
atau terhalang oleh keadaan lingkungan.[8]
Melihat kondisi
tersebut maka di perlukan suatu strategi pembelajaran yang sesuai dalam
menyampaikan pokok-pokok bahasan matematika kepada peserta didik. Strategi
belajar matematika adalah kegiatan yang dipilih pengajar dalam proses belajar
mengajar matematika yang dapat memberikan fasilitas belajar sehingga
memperlancar tercapainya tujuan belajar matematika.[9] Kalau kita lihat salah satu komponen
pendidikan di sekolah adalah siswa, dalam pembelajaran siswa merupakan subyek
yang mengalami proses pembelajaran, sehingga kemampuan siswa turut mempengaruhi
tingkat kecepatan proses belajar dan tingkat keberhasilan belajar.
Pelajaran matematika
ditingkat SMP terdiri dari berbagai sub-sub pokok bahasan, salah satunya adalah
menentukan rumus Volume dan Luas Bangun Ruang yang diajarkan di kelas VIII (Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2004).
Dalam materi mengidentifikasikan Bangun Ruang terdapat beberapa Kompetensi
Dasar yang harus dicapai yaitu :
(1) Menentukan Luas Selimut
dan Volume tabung, bola, kerucut dengan Indikator : (a) Menyebutkan unsur–unsur
jari-jari/diameter, tinggi, sisi alas dari tabung dan kerucut, (b) Melukis
jaring-jaring tabung, dan jaring-jaring kerucut, (c) Menghitung luas selimut
tabung, kerucut dan bola, (d) Menghitung volume tabung, kerucut dan bola, (e) Menghitung
unsur-unsur Bangun Ruang Sisi Lengkung jika volume Bangun Ruang Sisi Lengkung
diketahui, (2) Menghitung besar perubahan volume dengan Indikator : (a)
Menghitung perbandingan volume tabung, kerucut dan bola karena perubahan ukuran
jari-jari, (b) Menghitung besar perubahan volume tabung, kerucut dan bola jika
jari – jarinya berubah.[10]
Berdasarkan hasil wawancara dalam studi pendahuluan di SMPN
5 Tulungagung dengan guru mata pelajaran matematika. Peneliti melihat bahwa dalam pengajaran mencari Volume dan Luas
Bangun Ruang khususnya Tabung, Kerucut, Bola, pada umumnya langsung mengenalkan
rumus menentukan volume dan luas bangun ruang seperti tabung, kerucut, dan bola
tersebut, kemudian anak dilatih menggunakan rumus tersebut. Sehingga siswa
kurang dilibatkan dalam memanipulasi benda konkret. Guru beranggapan bahwa penggunaan
benda konkrit (alat peraga)
merepotkan, karena hasilnya sama saja dengan yang tidak menggunakan alat
peraga.
Dari kondisi pembelajaran di sekolah tersebut dalam
mencari volume dan luas Bangun Ruang, terkesan bahwa guru lebih banyak
mendominasi kegiatan. Siswa hanya mengamati apa yang dilakukan guru seperti
ceramah, tanya jawab, demonstrasi cara mengerjakan soal, dan dilanjutkan
latihan-latihan soal.
Dalam upaya
meningkatkan penguasaan Konsep Volume dan Luas Bangun Ruang siswa akan
mengembangkan pemahamannya dengan baik jika mereka dapat secara mudah
mengaitkan antara sesuatu yang telah mereka kenal dengan pengetahuan dan
pemahaman yang baru atau yang belum dikenal. Hubungan dalam memahami materi yang
abstrak tidak dapat dibesar–besarkan. Keberhasilan dalam belajar yang ditandai
oleh penyediaan lingkungan belajar yang membantu siswa dalam membuat hubungan-hubungan
tersebut. Siswa selanjutnya mampu menyadari adanya saling hubungan antara
materi dan perannya dalam situasi kehidupan nyata.[11]
Salah satu cara
dalam meningkatkan penguasaan konsep Volume dan Luas Bangun Ruang adalah dengan
melalui model pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan pengajaran.
Model pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi permasalahan diatas adalah “Pembelajaran Kontekstual”. Pembelajaran
Kontekstual bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada
tahun 1916 mengajukan teori Kurikulum
dan Metodologi Pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa.[12]
Pembelajaran kontekstual adalah pengajaran
yang memungkinkan siswa menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan
ketrampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar
sekolah agar dapat memecahkan masalah–masalah dunia nyata atau masalah–masalah
yang disimulasikan. Pembelajaran Kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan
dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah–masalah
dalam dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka
sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa dan tenaga kerja.[13]
Untuk mengatasi
kendala yang mungkin timbul ini, guru diharapkan dapat memahami pembelajaran
kontekstual secara mendalam.
Berdasarkan uraian diatas
maka peneliti tertarik dan berusaha mencari solusi dalam meningkatkan
penguasaan siswa terhadap konsep volum dan luas bangun ruang, oleh karena itu
peneliti mengadakan penelitian dengan judul “Upaya
Meningkatkan Penguasaan Konsep Volume Dan Luas Bangun Ruang Dengan Pendekatan Kontekstual
Pada Siswa Kelas VIII SMPN 5 Tulungagung “
[7] Sudarman Benu, Prosiding Seminar Nasional Matematika Jurusan Matematika, (Surabaya
ITS Surabaya), hal. 431
[10] Lima, Suharyono, Widosuwahyono A, Mahir Matematika SMP Kelas 2, (Jakarta :
Grasindo, 2004) hal. 11
[11] Nurhadi, Burhan Yasin, Agus Gerrad
Senduk, Pembelajaran Kontekstual dan
Penerapannya Dalam KBK, 2004,
(Malang : UNM, 2004) hal.26
[12] Ibid, hal. 8
0 komentar:
Posting Komentar